Beranda | Artikel
Kaidah Berdalil Dalam Agama Islam
Rabu, 24 Februari 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Ahmad Zainuddin

Kaidah Berdalil Dalam Agama Islam adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Ithaful Qari’. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc. pada Rabu, 12 Rajab 1442 H / 24 Februari 2021 M.

Kajian Islam Tentang Kaidah Berdalil Dalam Agama Islam

Pembahasan ini penting dikarenakan di dalam perihal musik (terutama bagi yang membolehkannya), mereka terkadang keliru di dalam berdalil sehingga mereka membolehkan musik. Oleh sebab itulah kita akan memembahas kaidah-kaidah berdalil saat kita menyebutkan dalil dalam hukum-hukum syariat Islam.

1. Bersandar kepada dalil yang shahih

Bersandar kepada dalil yang shahih, baik itu di dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau di dalam atsar-atsar (perbuatan/ucapan) salafush shalih (para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang mengikuti para sahabat dengan baik). Terutama jika atsar-atsar tersebut dinukilkan dari imam-imam yang umat Islam telah bersepakat tentang keimaman mereka sebagaimana yang terjadi imam yang empat Rahimahumullah. Yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad Rahimahumullahu Ta’ala.

2. Melihat lahiriyah dalil

Menjalankan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits atas lahiriahnya dan membuang takwil/penafsiran yang rusak. Karena asal hukum berdalil adalah mengambil lafadz di dalam dalil secara lahiriyahnya dan apa saja yang ditunjuki oleh hakikat dari dalil tersebut.

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, barangsiapa ingin memahami dalil dari Al-Qur’an, maka melalui lisan orang Arab yang dipahami. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ

Al-Qur’an  dengan lisan Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara`[26]: 195)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ ۗ لِّسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِينٌ

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)’. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (QS. An-Nahl[16]: 103)

Allah juga berfirman:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآنًا عَرَبِيًّا …

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab.” (QS. Asy-Syura[42]: 7)

Sehingga lafadz ayat dan hadits dipahami secara lahiriyahnya, bukan secara maknawinya kecuali dengan dalil dari Al-Qur’an, hadits atau ijma’. Lafadz dalil tetap pada makna keumumannya dan tidak diinginkan makna khususnya kecuali dengan dalil.

Kaidah ini yang membedakan cara beragama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan cara beragama ahli bid’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetep pada kejelasan dalil dan tidak ditafsirkan maknanya kepada makna yang lain kecuali dengan dalil.

Jika kaidah ini tidak dipegang teguh, maka akan lahir beberapa hal berikut ini:

  1. Seseorang memindahkan dalil-dalil dari tempatnya. Yaitu seseorang menganggap bahwa suatu dalil cocok untuk suatu masalah, padahal dalil yang dibawakan bukan untuk masalah tersebut.
  2. Membuka pintu penafsiran-penafsiran yang rusak terhadap dalil-dalil syariat tanpa dalil.

3. Mengikuti pemahaman para sahabat

Membatasi dalam memahami dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits dengan pemahaman dari para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, dan juga dari para pembesar-pembesar tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan juga para imam yang mengikuti pemahaman para sahabat.

Para sahabat Nabi adalah orang yang paling paham maksud dari ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka hidup saat ayat dan hadits tersebut diturunkan sebagai wahyu. Dan mereka adalah murid langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka senantiasa bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Lalu apa salahnya kita mengajak umat Islam untuk berdalil dengan Al-Qur’an dan hadits yang dipahami sesuai dengan pemahaman sahabat Radhiyallahu ‘Anhum?

Turunan dari kaidah yang ketiga ini adalah bahwa pendapat para sahabat bisa dijadikan sebagai sandaran hukum dengan dua catatan:

  1. Pendapat sahabat tersebut masyhur/tersebar di masyarakat dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat tersebut. Ini dinamakan ijma’ sukuti (diam/aklamasi).
  2. Pendapat sahabat tidak masyhur atau tidak diketahui apakah pendapat tersebut masyhur atau tidak, maka jumhur ulama (di antaranya imam yang empat) mengatakan tetap dijadikan sandaran hukum dengan syarat pendapat ini tidak menyelisihi dalil dan tidak menyelisihi pendapat yang lain.

Adapun pendapat tabi’in bisa dijadikan sebagai dalil apabila memenuhi syarat-syarat berikut ini:

  1. Tidak menyelisihi dalil yang tegas dari Al-Qur’an dan hadits.
  2. Tidak menyelishi ijma’nya umat Islam.
  3. Tidak menyelisihi perkataan sahabat atau perkataan tabi’in yang lain.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini..

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49861-kaidah-berdalil-dalam-agama-islam/